Lampiran Surat Dirjen Strahan Kemhan Nomor : B / 853 / II / 2019 Tanggal : 15 Februari 2019 BAHAN MENHAN “MELURUSKAN KEMBALI JATI DIRI TNI DAN MEWASPADAI KAJIAN ILMIAH DEMOCRATIC POLICING” (Sebuah catatan kritis terhadap buku Democratic Policing oleh Kapolri Jenderal Pol M. Tito Karnavian dan Prof. (Ris) Hermawan Sulistyo, PhD ) PROBLEMATIKA FRASA “PERTAHANAN KEAMANAN” BERDAMPAK PADA SULITNYA MEMBANGUN SISTEM KEAMANAN NASIONAL Pendahuluan Akhir-akhir ini sepertinya kognisi masyarakat sedang digiring pada pemahaman bahwa militer bukan bagian dari aktor “keamanan”. Di dalam beberapa buku yang beredar, terdapat ulasan yang menterjemahkan secara sempit bunyi peraturan yang ada dimana menyimpulkan bahwa TNI hanya bertanggung jawab pertahanan sedangkan Polri bertanggung jawab tentang keamanan. Hal ini diperkuat dengan adanya wacana Polri akan mendirikan universitas yang dinamakan “Universitas Keamanan”. Padahal kata “keamanan” akan sangat luas cakupannya, dan jika dibaca dengan seksama peraturan dan undang-undang yang berlaku apalagi dihubungkan dengan teori maupun aturan-aturan yang berlaku di banyak negara, tidak mungkin bisa memisahkan pengertian frasa “pertahanan dan keamanan” secara hitam putih seperti itu. Pemisahan pengertian frasa “pertahanan dan keamanan” seperti ini tentunya akan memberikan konsekuensi fatal, karena kita semua tidak akan bisa merancang dan menyusun sistem keamanan nasional yang sangat dibutuhkan bangsa dan negara ini, dihadapkan dengan tantangan dan ancaman terhadap kehidupan berbangsa bernegara serta tegaknya kedaulatan dan eksistensi negara saat ini dan ke depan. Sebelum membahas persoalan diatas, ada baiknya dikupas sedikit tentang perkembangan pemahaman tentang konsep keamanan. Paradigma tentang keamanan mengalami transformasi dan berkembang mencakup dimensi yang semakin luas. Pada awalnya konsep keamanan hanya identik dengan fungsi pertahanan yang dilaksanakan oleh militer, karena saat itu yang dianggap sebagai ancaman yang dapat menghancurkan sebuah negara hanyalah serangan/aspek militer, sehingga respons militer (defence) adalah satu-satunya yang bisa mengamankan negara. Oleh karena itu keamanan negara (state security) selalu diidentikan dengan pertahanan/militer. Namun setelah perang dingin, terjadi pergeseran persepsi tentang ancaman. Spektrum ancaman berkembang, dimana yang bisa berpengaruh bahkan bisa menghancurkan eksistensi sebuah negara bukan hanya ancaman militer, namun ancaman non militer seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, Keselamatan Umum dan Legislasi atau campuran militer-non militer (hibrida). Di sisi lain paradigma keamanan berkembang tidak hanya berorientasi pada keamanan negara (state centered security) untuk menghadapi ancaman tradisional/militer semata, akan tetapi juga ditujukan untuk melindungi keamanan dan keselamatan umat manusia dari situasi dan kondisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar