Rabu, 21 April 2010

ILLEGAL Fishing

Selasa, 20 April 2010 , 03:43:00

Pemusnahan sekitar satu ton ikan hasil tangkapan yang mengandung formalin di P2SDKP Pontianak, Senin (19/4). (FOTO Tomi Fahrurazi/ Equator
KUBU RAYA. Perairan Indonesia, termasuk Kalbar menjadi lokasi favorit pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing. Mereka memiliki sejumlah alasan untuk melakukan tindakan melawan hukum tersebut.

“Ikan di Indonesia masih banyak. Makanya kami ke sini untuk mengambilnya,” ungkap Pham Ngoc Than (37) salah seorang nakhoda kapal nelayan asal Vietnam yang ditangkap kapal pengawas Hiu Macan 001, dijumpai usai menandatangani berita acara pemusnahan sekitar satu ton ikan hasil tangkapan yang mengandung formalin di P2SDKP Pontianak, Senin (19/4).

Menurut Pham, dirinya bersama puluhan nelayan senegaranya mencuri ikan di perairan Indonesia karena ikan di perairan negaranya telah habis. Begitu juga dengan Malaysia, Thailand, Filiphina dan lainnya. Mereka sudah tidak memiliki ikan lagi. Lain dengan Indonesia yang memiliki ikan berlimpah-ruah.

“Kami tahu kalau mencuri ikan di perairan Indonesia salah, tapi mau bagaimana lagi. Kami juga perlu makan. Apalagi, beberapa tahun terakhir, hasil tangkapan ikan di perairan Vietnam sedikit sekali, sehingga kami berlomba-lomba mengambil ikan di perairan Indonesia,” kata Pham yang didampingi penerjemah.

Ayah 4 anak ini mengaku ketika ditangkap bersama sepuluh kapal motor lainnya sedang melepas jaring untuk menangkap ikan. “Kami langsung ditangkap dan dibawa ke sini,” tuturnya.

Berdasarkan Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pelaku pencurian ikan di perairan Indonesia untuk urutan pertama yaitu nelayan asal Vietnam. Pencurian juga sering dilakukan nelayan asal Thailand, Malaysia, Filipina, RRC, dan sejumlah Negara lainnya.

“Khusus yang di-ahock ke stasiun P2SDKP Pontianak, penangkapan 9 kapal nelayan Vietnam ini adalah yang kedua kalinya. Penangkapan pertama dilakukan tahun lalu dengan jumlah kapal mencapai 12 buah,” ujar Bambang Nugroho, Kepala P2SDKP Pontianak kepada Equator.

Menurut Bambang, selain karena potensi ikan yang banyak, keputusan nelayan asing mencuri ikan di Indonesia juga terdesak kebijakan negaranya yang memiliki kontrak dengan Negara lain untuk memasok ikan. “Tapi ikan-ikan itu biasanya dipasok untuk kebutuhan bahan baku bakso atau sosis,” kata Bambang.

Sejauh ini, perairan Indonesia memang menjadi ladang empuk bagi nelayan aksi melakukan aksi pencurian ikan. Kondisi ini diperparah dengan belum maksimalkan fungsi pengawasan yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Untuk lingkup Indonesia, KKP baru memiliki sekitar 30 lebih kapal patroli. Angka ini jauh berada di bawah kebutuhan ideal yang mencapai 70 lebih kapal patroli. “Sementara untuk kapal patroli di wilayah barat yang mencakup Kalbar, Lampung, Palembang, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau juga masih kurang. Sekarang baru ada tujuh kapal patroli,” bebernya.

Kendala lain, kemampuan APBN untuk menyokong operasional kapal-kapal patroli tersebut juga cukup rendah. Akibatnya, kegiatan patroli tidak bisa dilakukan rutin setiap hari.

“Kendala yang juga sering menghambat adalah kondisi musim. Pada waktu-waktu tertentu perairan di Indonesia sangat tinggi sehingga kapal patroli tidak bisa beroperasi,” pungkas Bambang. (eon/bdu)
 


IKAN gurita Vietnam dimusnahkan

Selasa, 20 April 2010 , 03:45:00

 
Wagub Kalbar Christiandy Sanjaya usai menyaksikan pemusnahan lebih 21 ton ikan dan gurita hasil jarahan sembilan kapal nelayan Vietnam, Senin (19/4). (FOTO Tomi Fahrurazi/ Equator)
Sisi positif illegal fishing, kapal tangkap bisa untuk nelayan Kalbar. Produktivitas hasil laut bisa ditingkatkan.


KUBU RAYA. Stasiun Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Pontianak, memusnahkan lebih 21 ton ikan dan gurita hasil jarahan sembilan kapal nelayan Vietnam Senin (19/4). Ikan dan gurita itu diketahui mengandung formalin.

“Total ikan dan gurita yang dimusnahkan itu sekitar 21 ton,” ucap Bambang Nugroho, kepala P2SDKP Pontianak dijumpai Equator di Restoran Rindang Alamar, kemarin.

Proses pemusnahan itu dilakukan secara simbolik dan disaksikan oleh Wakil Gubernur Kalbar Cristiandy Sanjaya, Wakil Bupati Kabupaten Kubu Raya (KKR) Andreas Mortein, serta unsur Muspida Pemprov Kalbar dan KKR. Ikan dan gurita tersebut dikubur dalam satu lubang.

“Zat formalin itu berbahaya untuk kesehatan. Maka dari itu kita memutuskan untuk memusnahkannya,” kata Bambang.

Untuk ikan, jenis terbanyak yang dimusnahkan terdiri dari ikan turisi dan ikan biji nangka. Ikan tersebut hidup di dasar laut. “Harga jual per kilogramnya sekitar Rp 1000,” ucap Bambang.

Seperti diketahui, sembilan kapal Vietnam itu ditangkap Kapal Pengawas Hiu Macan 001 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Penangkapan terjadi Minggu (11/4) sekitar pukul 07.00 pagi. Kapal-kapal yang memiliki berat berkisar 20 sampai 30 Gross Ton (GT) tersebut di-adhock (dilimpahkan) ke stasiun P2SDKP Pontianak.

Terkait dengan barang bukti kapal ini, menurut Bambang, menjadi hak KKP. Sesuai dengan program Kementerian, kapal-kapal tersebut bisa saja diserahkan ke masyarakat nelayan. “Hanya jalurnya harus melalui kementerian,” ujarnya.

Wakil Gubernur Kalbar, Cristandy kepada sejumlah wartawan di sela upacara pemusnahan memastikan bahwa Pemprov secepatnya akan menyurati pemerintah pusat. Meminta agar kapal motor milik nelayan asing yang telah dirampas dan menjadi sitaan negara tersebut dapat dipergunakan serta dimanfaatkan oleh nelayan lokal.

Orang nomor dua di Kalbar ini juga berharap proses hukum terhadap nelayan yang menggunakan kapal-kapal itu bisa lebih cepat, sehingga kapal tersebut bisa dihibahkan kepada nelayan lokal. “Apalagi Kalbar telah memiliki Pengadilan Perikanan dan Hakim Ad Hoc, sehingga proses hukumnya menjadi lebih cepat,” ujar Cristiandy.

Menurutnya, dengan dimanfaatkannya kapal ikan asing hasil rampasan tersebut, para nelayan yang selama ini hanya memiliki kapal motor berukuran kecil bisa memanfaatkan kapal yang cukup besar untuk menangkap ikan hingga ke tengah laut.

“Selama ini, para nelayan hanya menangkap ikan di pinggir pantai. Padahal, potensi ikan di perairan Indonesia khususnya Kalbar cukup melimpah,” bebernya.

Seiring diterbitkannya Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Kelautan, barang bukti hasil rampasan memang bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat termasuk nelayan. “Mudah-mudahan dengan proses hukum yang cepat, barang bukti berupa kapal motor yang disita bisa dimanfaatkan. Tidak seperti sebelumnya harus menunggu lama, sehingga begitu putusan, kapal sudah tidak bisa dipergunakan lagi,” harapnya.

Hingga saat ini, sembilan kapal motor milik Vietnam sedang dititipkan di stasiun P2SDKP Pontianak sambil menunggu proses hukum selanjutnya. Selain kapal sembilan nakhodanya juga akan menjalani proses hukum di pengadilan Indonesia. (oen/bdu)
Flag Counter